23 September 2008

Perda HIV/AIDS Bakal Sama Dengan RUU Pornografi


MEMBACA berita seorang rekan saya, yang kemudian diberitakan di koran ini pada edisi Senin 22 September 2008 kemarin dengan judul “Perda AIDS Sudah Sangat Dibutuhkan”, bak menggali ingatan lama. Adalah tulisan mentor saya dalam hal penulisan HIV/AIDS—Bang Syaiful W Harahap—yang berjudul “Perda Bukan Cara Ampuh Menanggulangi HIV/AIDS, yang dimuat koran ini pada edisi Selasa 11 Maret 2008 lalu.
Intinya, Bang Syaiful menegaskan, “Sudah ada beberapa kota, kabupaten dan provinsi yang meneluarkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar karena perda itu tidak menyentuh persoalan yang mendasar terkait dengan pencegahan HIV”.
Kondisi ini memang dipicu oleh muatan Perda yang hanya menyorot soal sanksi terkait moral. Tak hanya Perda di Papua saja, namun di kota-kota besar di Jawa—bahkan di DKI Jakarta pun—, moral masih menjadi “nyawa” dari Perda HIV/AIDS.
Akibatnya, epidemi HIV tetap menjadi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia. Karena—seperti tulisan Bang Syaiful—Perda muatannya adalah melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua normatif dan moralistik yang hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.
Bang Syaiful kemudian mencontohkan di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara. Di mana kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Padahal, tidak ada bat dan vaksin HIV/AIDS. Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.
Kutipan tulisan Bang Syaiful selanjutnya adalah, “...kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan norma, moral, dan agama tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi medis yang benar-benar masuk akal dan dapat dilakukan oleh setiap orang.
Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) menyusui. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang realistis. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif.
Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Tanpa Disadari Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV?
Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa? Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif.
Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya. Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sama saja. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun tidak menyentuh persoalan yang mendasar dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu perilaku berisiko tanpa dikaitkan dengan norma, moral dan agama.
Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka yang perlu ditegaskan dalam Perda adalah kewajiban kepada setiap orang untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda, di luar wilayah Perda, atau di luar negeri”.

***

Mengapa begitu panjang kutipan Bang Syaiful saya beberkan di sini? Persoalannya, supaya kita bisa me-rewain kembali. Benarkah pengendalian epidemi HIV di Sulut harus lewat Perda, yang penuh pesan moral? Sengaja saya langsung berasumsi demikian, kendati saya berharap bukan muatan moral yang muncul. Karena memang, nyaris seluruh Perda yang ada muatannya salah sasaran.
Desakan dari legislator, via pernyataan James Sumendap dan Inggried Sondakh—dua legislator Deprov Sulut yang ngendon di Komisi D—lewat berita kemarin, jelas-jelas menuju pada pemahaman bahwa hanya ada satu cara mencegah epidemi HIV; yakni lewat Perda HIV/AIDS.
Jika memang demikian, bahwa Perda HIV/AIDS Sulut nanti lebih bermuatan moral, maka apakah bedanya dengan rancangan undang undang (RUU) Pornografi yang saat ini telah mendapatkan penolakan di mana-mana di Indonesia ini?
So, kita akhirnya hanya bisa berharap, kekonyolan eksekutif-legislatif di daerah-daerah lain tak merembut ke bumi Nyiur Melambai ini. Karena bagaimana pun, untuk ukuran intelektual dan moderalisme, Sulut adalah jagoannya. Benarkah demikian? Semoga.(henzoe@swarakita-manado.com)

= Dipublikasikan di SKH. Swara Kita, Selasa 23 September 2008



17 September 2008

Meramu Gagasan, Fakta, dan (Kebutuhan) Rakyat

“Orang bijak berbicara tentang gagasan, para intelektual berbicara tentang fakta-fakta, dan rakyat biasa berbicara tentang apa yang mereka makan”.

GAGASAN, fakta-fakta, dan makanan (kemakmuran bersama). Demikian yang diyakini bangsa Mongolia, soal sebuah pertumbuhan. Pepatah yang mengawali ini tulisan ini adalah filosofi dari bangsa yang sempat berjaya saat dikendalikan Jenghis Khan, seorang pria perkasa yang dilahirkan dengan nama Temujin pada sekitar tahun 1162, dan diyakini meninggal pas 781 tahun yang lalu, atau 18 Agustus 1227.
Ini sebuah pembagian akan sebuah kebutuhan dari tiga level kasta dalam kehidupan manusia. Bahwa kalangan negarawan/kaum arif-bijaksana selalu mengutamakan gagasan dalam mencermati sebuah kehidupan. Di level lanjut adalah kaum intelektual yang lebih meniktikberatkan pada fakta-fakta yang terbeber dalam kehidupan. Di tingkat paling bawah adalah kaum jelata, yang memprioritaskan apa yang bisa dimakan hari ini.
Filosofi yang menurut saya luar biasa, karena bisa masuk dalam berbagai sendi kehidupan, terutama di kekinian. Kemenangan beberapa kandidat di sejumlah pilkada, saya yakini terkait dengan filosofi ini. Tim sukses sang kandidat yang pinter, tentu jeli melihat kebutuhan dominan para pemilih. Apakah gagasan, atau data/fakta, atau hanya sembako?
Filosofi ini juga menyeruak saat WOC (World Ocean Conference) diapungkan. Ada gagasan, fakta-fakta dan “kampung tenga” alias kebutuhan makan. Pro dan kontra kemudian meluncur. Yang pro tentunya mendukung gagasan untuk mengadakan “pertemuan tingkat tinggi kepala pemerintahan yang memiliki wilayah laut dan pantai atau menjadi bagian dari komunitas kelautan dunia”.
Yang kontra mengedepankan fakta-fakta negatif, yang kemudian berbalas dengan fakta-fakta positif dari kalangan yang pro. Dari pertentangan ini kemudian bisa terbaca yang mana masuk dalam 3 kategori bangsa Mongolia itu.
Saya tidak hendak masuk dalam wilayah pertentangan tersebut, namun lebih melihat sebagai sebuah spirit untuk menjadikan bangsa Sulut ini bisa menjelma jadi kekuatan Jenghis Khan, tentu dalam paradigma yang positif. Bahwa pemahaman ketiga unsur ini menjadi elemen penting untuk memulai dalam sebuah ramuan yang dipahami secara bersama.
Kita tinggal melihat, pertama; apakah keinginan Sulut menjadi pelopor kepedulian terhadap keprihatinan dunia soal kelautan dan sumberdayanya (dalam sisi pelibatan pemerintahan dalam kebijakannya) adalah sebuah kekeliruan? Kedua; apakah kita mampu mewujudkannya? Dan ketiga, apakah kita siap dengan konsekuensinya?
Tentu kita harus memulainya, bak teori tabularasa, bahwa pada awalnya semuanya seperti kertas putih tak bercacat. Memulai, atau pun berproses, dalam sebuah ke-“bias”-an, tentu bakal menghadirkan multiinterpretasi. Tanpa sebuah kemurnian, tentu semuanya akan jadi kesia-sian belaka.
Adanya silang pendapat soal pelaksanaan iven yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 mendatang itu, dalam filosofi Mongolia tadi, tentu harus disertai dengan pemilahan yang jelas. Dari sisi pemilahan inilah yang kemudian menjadi akar masih adanya silang-sengkarut itu.
Karena sebenarnya, perbedaan pendapat itu, jika dengan kemurnian, harusnya lebih bermuara pada pencerdasan. Maksudnya, apa pun yang dipertentangkan bisa membawa hasil yang lebih baik, dalam frame WOC ini harusnya “perkelahian intelek” lokal ini bisa membawa persiapan hingga pelaksanaan yang tentunya harus lebih baik.
Apalagi sudah ada penegasan berupa dukungan dari luar Sulut. Seperti yang dilontarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, disela-sela presentasi terbatas panitia nasional WOC di Manado Minggu (10/8) lalu, bahwa gagasan Sulut menjadi inisiatif bangsa Indonesia yang pertama kali di dunia, dan mendapat dukungan penuh masyarakat internasional serta sejumlah pimpinan atau kepala negara di dunia (Antara, 10 Agustus 2008).
Dukungan luas dari Indonesia sendiri didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita ini akan menjadi pemain utama dalam upaya penyelamatan laut, karena perubahan iklim turut memberikan ancaman dunia, disebabkan es kutub utara dan selatan terus mencair.
Karena, WOC sendiri akan jadi momentum penyelamatan dunia dari ancaman perubahan iklim, dengan mengubah paradigma pembangunan dari daratan ke laut, karena persoalan di laut bisa membawa dampak negatif bagi manusia jika tidak dijaga. Begitu Numberi menyimpulkan soal mengapa dukungan luas ini mampir ke gagasan WOC itu.
Ini sinkron dengan dukungan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. "Dunia semakin mengalami kemunduran akibat degradasi lingkungan alam yang sudah tidak bisa dicegah, sehingga perlu peran untuk mengantisipasi dampak buruk dari ancaman tersebut," katanya, saat membuka Konferensi Badan Kerja sama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) Indonesia, Rabu (7/8) lalu di Manado (Antara, 7 Agustus 2008).
Pernyataan Witoelar ini terkait dengan masalah laut bagian terbesar dari global warming, karena penyerapan CO2 sangat tinggi. Sehingga harus dijaga kelestarian lingkungan dan biotanya, sehingga manusia bisa bertahan hidup. Ini merupakan salah satu hal yang mendasari mengapa WOC digelar.
So, bagaimana dengan dampak ke bawah? Wakil Bupati Minsel Ventje Tuela SSos punya jawabannya. “Apabila WOC ini terlaksana, maka akan berdampak luas kepada masyarakat setempat. Selain itu, iven berskala internasional ini pasti akan turut menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga angka pengangguran di daerah ini berkurang,” begitu harapannya (inilah.com 14 Juli 2008).
Karenanya, melihat gagasan ini pada intinya tak hanya berujung pada sebuah kebanggan semata, dengan melihat kepentingan lingkungan sebagai titik dasarnya, maka titipan pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada masyarakat internasional, melalui perwakilan di UNESCO, untuk memberikan perhatian lebih serius bagaimana dampak perubahan iklim terhadap laut, dan peran laut terhadap perubahan iklim global (Berita Sore 4 Juli 2008), perlu juga ditindaklanjuti secara internal di Sulut.
Sehingga nantinya, kita semua berada pada satu pemahaman, bahwa WOC ini bukan soal siapa yang menggagas, atau siapa yang melaksanakan, atau bakal menguntungkan figur atau kelompok siapa, namun lebih pada mengamankan kehidupan generasi kita di mata yang akan datang. Semoga. Syaloom.(***)

= Dipublikasikan di SKH. Swara Kita, Selasa 19 Agustus 2008.-