17 September 2008

Meramu Gagasan, Fakta, dan (Kebutuhan) Rakyat

“Orang bijak berbicara tentang gagasan, para intelektual berbicara tentang fakta-fakta, dan rakyat biasa berbicara tentang apa yang mereka makan”.

GAGASAN, fakta-fakta, dan makanan (kemakmuran bersama). Demikian yang diyakini bangsa Mongolia, soal sebuah pertumbuhan. Pepatah yang mengawali ini tulisan ini adalah filosofi dari bangsa yang sempat berjaya saat dikendalikan Jenghis Khan, seorang pria perkasa yang dilahirkan dengan nama Temujin pada sekitar tahun 1162, dan diyakini meninggal pas 781 tahun yang lalu, atau 18 Agustus 1227.
Ini sebuah pembagian akan sebuah kebutuhan dari tiga level kasta dalam kehidupan manusia. Bahwa kalangan negarawan/kaum arif-bijaksana selalu mengutamakan gagasan dalam mencermati sebuah kehidupan. Di level lanjut adalah kaum intelektual yang lebih meniktikberatkan pada fakta-fakta yang terbeber dalam kehidupan. Di tingkat paling bawah adalah kaum jelata, yang memprioritaskan apa yang bisa dimakan hari ini.
Filosofi yang menurut saya luar biasa, karena bisa masuk dalam berbagai sendi kehidupan, terutama di kekinian. Kemenangan beberapa kandidat di sejumlah pilkada, saya yakini terkait dengan filosofi ini. Tim sukses sang kandidat yang pinter, tentu jeli melihat kebutuhan dominan para pemilih. Apakah gagasan, atau data/fakta, atau hanya sembako?
Filosofi ini juga menyeruak saat WOC (World Ocean Conference) diapungkan. Ada gagasan, fakta-fakta dan “kampung tenga” alias kebutuhan makan. Pro dan kontra kemudian meluncur. Yang pro tentunya mendukung gagasan untuk mengadakan “pertemuan tingkat tinggi kepala pemerintahan yang memiliki wilayah laut dan pantai atau menjadi bagian dari komunitas kelautan dunia”.
Yang kontra mengedepankan fakta-fakta negatif, yang kemudian berbalas dengan fakta-fakta positif dari kalangan yang pro. Dari pertentangan ini kemudian bisa terbaca yang mana masuk dalam 3 kategori bangsa Mongolia itu.
Saya tidak hendak masuk dalam wilayah pertentangan tersebut, namun lebih melihat sebagai sebuah spirit untuk menjadikan bangsa Sulut ini bisa menjelma jadi kekuatan Jenghis Khan, tentu dalam paradigma yang positif. Bahwa pemahaman ketiga unsur ini menjadi elemen penting untuk memulai dalam sebuah ramuan yang dipahami secara bersama.
Kita tinggal melihat, pertama; apakah keinginan Sulut menjadi pelopor kepedulian terhadap keprihatinan dunia soal kelautan dan sumberdayanya (dalam sisi pelibatan pemerintahan dalam kebijakannya) adalah sebuah kekeliruan? Kedua; apakah kita mampu mewujudkannya? Dan ketiga, apakah kita siap dengan konsekuensinya?
Tentu kita harus memulainya, bak teori tabularasa, bahwa pada awalnya semuanya seperti kertas putih tak bercacat. Memulai, atau pun berproses, dalam sebuah ke-“bias”-an, tentu bakal menghadirkan multiinterpretasi. Tanpa sebuah kemurnian, tentu semuanya akan jadi kesia-sian belaka.
Adanya silang pendapat soal pelaksanaan iven yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009 mendatang itu, dalam filosofi Mongolia tadi, tentu harus disertai dengan pemilahan yang jelas. Dari sisi pemilahan inilah yang kemudian menjadi akar masih adanya silang-sengkarut itu.
Karena sebenarnya, perbedaan pendapat itu, jika dengan kemurnian, harusnya lebih bermuara pada pencerdasan. Maksudnya, apa pun yang dipertentangkan bisa membawa hasil yang lebih baik, dalam frame WOC ini harusnya “perkelahian intelek” lokal ini bisa membawa persiapan hingga pelaksanaan yang tentunya harus lebih baik.
Apalagi sudah ada penegasan berupa dukungan dari luar Sulut. Seperti yang dilontarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, disela-sela presentasi terbatas panitia nasional WOC di Manado Minggu (10/8) lalu, bahwa gagasan Sulut menjadi inisiatif bangsa Indonesia yang pertama kali di dunia, dan mendapat dukungan penuh masyarakat internasional serta sejumlah pimpinan atau kepala negara di dunia (Antara, 10 Agustus 2008).
Dukungan luas dari Indonesia sendiri didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita ini akan menjadi pemain utama dalam upaya penyelamatan laut, karena perubahan iklim turut memberikan ancaman dunia, disebabkan es kutub utara dan selatan terus mencair.
Karena, WOC sendiri akan jadi momentum penyelamatan dunia dari ancaman perubahan iklim, dengan mengubah paradigma pembangunan dari daratan ke laut, karena persoalan di laut bisa membawa dampak negatif bagi manusia jika tidak dijaga. Begitu Numberi menyimpulkan soal mengapa dukungan luas ini mampir ke gagasan WOC itu.
Ini sinkron dengan dukungan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. "Dunia semakin mengalami kemunduran akibat degradasi lingkungan alam yang sudah tidak bisa dicegah, sehingga perlu peran untuk mengantisipasi dampak buruk dari ancaman tersebut," katanya, saat membuka Konferensi Badan Kerja sama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) Indonesia, Rabu (7/8) lalu di Manado (Antara, 7 Agustus 2008).
Pernyataan Witoelar ini terkait dengan masalah laut bagian terbesar dari global warming, karena penyerapan CO2 sangat tinggi. Sehingga harus dijaga kelestarian lingkungan dan biotanya, sehingga manusia bisa bertahan hidup. Ini merupakan salah satu hal yang mendasari mengapa WOC digelar.
So, bagaimana dengan dampak ke bawah? Wakil Bupati Minsel Ventje Tuela SSos punya jawabannya. “Apabila WOC ini terlaksana, maka akan berdampak luas kepada masyarakat setempat. Selain itu, iven berskala internasional ini pasti akan turut menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga angka pengangguran di daerah ini berkurang,” begitu harapannya (inilah.com 14 Juli 2008).
Karenanya, melihat gagasan ini pada intinya tak hanya berujung pada sebuah kebanggan semata, dengan melihat kepentingan lingkungan sebagai titik dasarnya, maka titipan pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada masyarakat internasional, melalui perwakilan di UNESCO, untuk memberikan perhatian lebih serius bagaimana dampak perubahan iklim terhadap laut, dan peran laut terhadap perubahan iklim global (Berita Sore 4 Juli 2008), perlu juga ditindaklanjuti secara internal di Sulut.
Sehingga nantinya, kita semua berada pada satu pemahaman, bahwa WOC ini bukan soal siapa yang menggagas, atau siapa yang melaksanakan, atau bakal menguntungkan figur atau kelompok siapa, namun lebih pada mengamankan kehidupan generasi kita di mata yang akan datang. Semoga. Syaloom.(***)

= Dipublikasikan di SKH. Swara Kita, Selasa 19 Agustus 2008.-

Tidak ada komentar: